Global Warming dan Dampak Climate Change di
Indonesia,
Sekitar
Eko-Theologi tentang Relasi Spiritual
Antar Species
dan Response
Gereja Berbasis Ekologis.[1
Oleh
: Karel Phil Erari.[2]
Pengantar.
Phenomena Global Warming
atau Pemanasan Global merupakan Realita yang kini dihadapi seluruh Dunia, yang berpotensi
atas hilangnya sebagian besar daratan, terutama dikawasan pulau pulau pada
ketinggian dibawah 2-3 meter diatas permukaan laut; berikut hilangnya jutaan
species yang terdapat di darat maupun di laut.[3]
Diperkirakan bahwa pada akhir abad 21 ini, sejuta jenis binatang, tumbuhan dan
serangga terancam punah akibat kegiatan manusia. Fakta seperti ini bukan saja
melanda species dalam alam , tetapi juga menyangkut existensi manusia sendiri,
jutaan manusia akan punah sebagai akibat dari krisis air bersih, krisis pangan
dan konflik antar bangsa karena perang.[4]
Indonesia dengan 13.000 pulau besar dan kecil, diperkirakan akan keilangan 2-3
ribu pulau yang ketinggiannya dibawah 2-3 meter diatas permukaan air laut,
dalam kurun waktu 20-30 tahun yang akan datang. Bangladesh akan kehilangan
sepertiga daratan, termasuk ratusan ha tanah di Pantura Pulau Jawa.
Paper ini bertujuan
mempresentasikan aspek Spiritualitas diantara Sesama Ciptaan,yang secara
kategorial disebut dalam Kejadian 1- 2. Dalam Kisah Penciptaan Langit dan Bumi,
disebut tentang Bumi Langit dan segala isinya. Dalam Ekologi dan Biologi
disebut sebagai Species. Dalam text ini akan kita jumpai phrase tentang
Hubungan Antar Species sebagai istilah yang hendak mendorong dan memperkenalkan
paradigm baru dari relasi Manusia dan
sesama Ciptaan dalam perspektif Eko-Theologi. Dalam perspektif baru ini,
manusia hendak ditempatkan diatas pentas Penciptaan yang sama sama memiliki
spiritualitas,dan berada diatas platform yang sama sebagai sesama ciptaan dari Penciptaan
Langit dan Bumi dan segala isinya dimana terdapat unsur kehidupan .[5]
Dengan adanya phenomena Pemanasan
Global serta dampak terjadinya Perobahan Iklim, maka jutaan sepecies di alam
termasuk manusia sebagai sesama Ciptaan sedang terancam punah dan hilang. Inilah ancaman terbesar dalam sejarah
Peradaban manusia, selama jutaan tahun ini; dan serentak itulah merupakan
bagian integral dari Diakoia baru
yang kini menjadi mandat dari Gereja. PGI sejak Konvensi Dunia di Seoul 1992,
tentang Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dari WCC, telah
mengintegrasikan tema Lingkungan Hidup sebagai agenda Diakoni Gereja di
Indonesia, namun belum menjemaat secara merata diantara gereja anggota PGI.
Bahkan tidak semua pusat pendidikan Theologia, anggota Persethia
menintegrasikan Ekologi atau Eko-Theologia dalam kurikulumnya sebagai salah
satu mata kuliah khusus. Salah satu butir tesis yang saya bangun dalam studi
Ekologi sebelumnya; dikatakan bahwa Theologi tanpa Ekologi, bukanlah Theologi
yang utuh. Hal ini mengindikasikan betapa Ekologi menjadi sangat menentukan
dalam konstruksi Theologi.[6]
I.
Dari
Climate Change (Perobahan Iklim) menuju ke Climate Collapse ( Kehancuran Iklim).
Semenjak diterbitkannya Gro
Brundtland Report, 1967 dan laporan Club of Rome ( 1972) serta laporan
Pemerintahan se Dunia yan dipimpin Willy Brandt, Kanselir Jerman Barat,
ditambah pula dengan laporan Lester Brown dari World Watch Intitute, yang
berjudul : State of the World, 1989,
maka dunia menjadi sadar dan gempar bahwa dunia ini sudah terancam binasa.[7]
David W Dorr dalam bukunya Confronting Climate Collapse, mengkontatir secara
tegas bahwa temuan berbagai lembaga Dunia sejak 1972, yang dilaporkan pada UN Summit di Stockholm 1972, tentang
Krisis Ekologi Global, terutama inisiative PBB untuk terbentuknya UNEP (United
Nations Environment Program), dan yang beralanjut pada KTT Bumi; Earth Summit Rio de Janeiro 1992; yang melahirkan UNCED
(United Nations Commission on Environment and Development) serta Protocol Kyoto, 1997 sebagai awal dari
komitmen PBB untuk mengurangi Emmissi CO2; dan KTT Bumi di Johannesburg, Agustus 2002 tentang Pembangunan yang
Berkelanjutan (Sustainable Development), bahkan dengan lahirnya UNFCCC ( Kerangka Convensi PBB tentang Climate Change) dalam
Konvensi UN di Bali Desember 2007 yang terkenal dengan (Bali Road Map) yang
melahirkan schema REDD ( Reduction of Emmissions of Deforestation and Forest
Degradation), lalu secara khusus melalui UN
World Ocean Conference (WOC) yang terkenal dengan Manado Declaration a.l.
tentang perlindungan atas Sebaran Terumbu Karang di CRT (Coral Reef Trianggle), 11-15 Mei 2009; David W Door tiba pada
kesimpulannya dalam bukunya bahwa, baik UN maupun semua lembaga lembaga Dunia
yang dibentuk untuk menjaga keseimbangan Eko-sistem Plaint ini sudah gagal.
Climate Change kini menjadi
ancaman yang sangat serius dan sedang mengarah pada Kehancuran Iklim atau
Climate Collapse. [8]
(David.W.Dor)
2.
Tujuh Inisiative PBB dalam rangka Solusi atas Krisis Ekologi, serta Dampak Climate Change.
a.
UN Conference on Human Environment. Stockholm (UNEP)1972.
Konperensi PBB di Stockholm
pada tahun 1972, merupakan tonggak
historis dari lembaga Dunia ini, untuk memberi perhatian atas Krisis
Ekologi Global yang mengancam Lingkungan Hidup Manusia. Term Human Environment
menjadi semboyan penting bahwa ancaman atas Lingkungan Hidup, sama dengan
ancaman atas Hidup manusia. Pembangunan Dunia yang berbasis Ramah
Lingkungan (Environment Friendly) dan Pembangunan
yang Berkelanjutan (Sustainable Development) ketika itu menjadi “anak mas” dari keseluruhan agenda PBB.
b.
UNCED (United Nations Commission on Environment and Development),KTT Bumi,
Earth Summit,Rio de Janeiro, 1992.
KTT Bumi Rio, Juni 1992 yang berlangsung, 20 tahun
setelah Konperensi pertama UN Stockholm 1972 itu menghadirkan 5 ribu peserta
dari 179 negara, telah berhasil mengeluarkan doc.Agenda 21, dan Piagam Keneka
Ragaman Hayati. Salah satu doc lain, seperti Earth Charter tidak
behasil diterima. Berbagai action plan sudah diterima untuk melanjutkan
kesepakatan Stockholm yang menekan laju pengrusakan alam karena aktivitas
Pembangunan Industri yang bersifat merusak oleh Negara Negara Inustri.
Kalangan World Council of
Chuches, Unit JPIC yang dipimpin Dr Wesly Granberg melaksanakan Pertemuan Paralel
di Rio de Janeiro, dengan mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development) sebagai salah satu kontribusi penting dari studi WCC.[9]
Sebagai peserta yang mewakili Gereja gereja di Indonesia, saya mencatat salah
satu persitiwa historis yang monumental, ketika 10.000 perempuan seluruh dunia, melakukan komitmen di bibir
pantai Rio dengan sumpah dan pesan melalui ribuan kaca “make up” dengan
transmisi melalui energy surya kepada seluruh perempuan di dunia, untuk menjaga
alam ini dari kerusakan, karena ulah kaum laki laki.[10]
c. Kyto Protocol 1997: Pencanangan lahirnya Kerangka Konvensi PBB
mengenai Climate Change (UNFCCC).
Protokol Kyto berlangsung
lima tahun setelah KTT Bumi Rio, sebagai salah satu progam Aksi dari Agenda 21,
yang member focus pada komitmen Internasional untuk mengurangi Emmisi, sebagai
altenatif penyelamatan Dunia ini yang berada pada ambang kehancuran. Kyoto
Protokol terdiri dari 28 pasal yang mengatur pembatasan Emmisi di 55 negara
Industri sampai batas 5-6 persen, dan agar pada tahun 2005 terlihat dampaknya.
Dalam protocol ini disepakati agar antara tahun 2008 hingga 2012,batasan Emisi
itu menjadi Komitmen Internasional. USA
dan Australia tidak menandatangani
Protokol ini.(USA penghasil emmissi tertinggi). Rusia baru menanda tanganinya
pada tahun 2004. Indonesia telah menandatangani Kyoto Protol, namun dalam
program aksi, gagal dan lalai, bahkan
menjadi Negara penghasil Emisi tertinggi di dunia, menyusul Brasil dan Rusia.
Jenis jenis Emisi berbahaya
yang termasuk dalam daftar Protokol Kyoto a.l.
1.
Gas Rumah Kaca CO2 Greenhouse.
2.
Methan CH4.
3.
CFCs Choloroflurocarbon.
4.
HCFCs hidrochloroflurocarbon.
Sektor sector kategori yang
potensial menghasilkan emisi antara lain : Energy, Bahan bakar, energy industry,
transportasi, semua produk industry untuk rumah dan kantor, seperti AC, alat
semprot, parfum, dst.
Target utama Protokol Kyoto,
ialah agar pada tahun 2020 terjadi pengurangan 30%, emisi di pertengahan abad 21. Bila itu tidka
tercapai, maka Eko Sistem Planit Bumi ini pasti akan memasuki tahapan
kehancuran . Salah satu schema strategis yang disodorkan ialah “The Clean Development Mechanism (CDM).”
d.
UN Summit on Sustainable Development di Johannesburg 2002.
KTT PBB Johannesburg, tahun
2002, berlangsung 10 tahun setelah KTT Bumi Rio de Janeiro. Agenda yang menjadi focus ialah Pembangunan yang Berkelanjutan
(Sustainable Development), sebagai pilihan strategis mengurangi akumulasi Emisi
yang terus bertambah. Dalam petemuan Johannesburg itulah seluruh perangkat UN,
Lembaga lembaga Keuangan Internasional,IMF,Bank Dunia dst, melakukan
penyesuaian secara sistematis agar sector sektor Pembangunan yang menghasilkan
berbagai emisi dikurangi secara bertahap dan signifikan sampai ke tingkat
Toleransi yang menjamin keseimbangan Ekosistem secara local, regional dan
Global. Johannesburg mencatat banyak
Negara Industri yang belum memenuhi kewajibannya pasca Protokol Kyoto 1997.
e.
UNFCCC Bali Desember 2007.
Konvensi PBB tentang Climate Change (United
Nations Framework Convention on Climate Change) Bali Desember 2007 berhasil
mendeklarasikan suatu Peta Jalan (Bali
Road Map) yang dikenal dengan schema Reduced
Emmission on Deforestation and Forest Degradation) REDD. Konvensi UN yang
dihadiri 10.000 peserta dari 180 negara itu mengeluarkan sejumlah keputusan
strategis a.l :
1. Deforestasi
dan Forest Managemant.
2. Bantuan
technologi untuk Negara berkembang.
3. Pendirian
Badan yang menglola Dana bagi Adaptasi untuk Climate Change.
4. Meninjau
Mekanisme keuangan menuju Keuangan Lingkungan Global.
UNFCCC Bali terkenal dengan
Peta Jalan Bali (Bali Road Map) , didukung
oleh 13 keputusan penting dan strategis, dalam hal kebijakan dan komitmen untuk
mengelola Hutan secara berrtanggung jawab diatas prinsip Pembangunan
Berkelanjutan. Berbagai rekomendasi terutama prinsip prinsip Kyoto Protokol,
yang belum ditandatangani oleh Australia dan Amerika, pada akhirnya, diterima,
dan keseluruhan delegasi mendukung schema Bali Road Map sebagai alternative dan
yang memandu semua kebijakan untuk melaksanakan REDD di masing masing Negara.
Bagi Indonesia, REDD yang
antara lain didukung oleh Indonesia , atas prakarsa PNG merupakan sumbangan
historis, namun apakah peran penting ini akan dikawal dan dilaksanakan, itu
merupakan hal tersendiri yang membutuhkan partisipasi dari Civil society,
termasuk Gereja di Indonesia..Wakil wakil PGI yang hadir, antara lain
presentasi Sekum PGI ketika itu, belum cukup mencerminkan pemahaman tentang
penyebab dari Climate Change, karena memasukan Tsunami sebagai factor kesalahan
manusia.[11]
Catatan : Agenda UNFCCC yang berlangsung di Bali Indonesia membahas, dampak emisi yang secara
khusus disebabkan oleh pengelolaan hutan (forest management) yang buruk, kasar dan tidak bersahabat. Indonesia tercatat
penghasil emisi tertinggi di dunia. .Bali Road Map dan schema REDD nampaknya
belum diimplementasi oleh Instansi terkait seperti Kementerian Kehutanan. Ijin
pengelolaan Industri Kelapa Sawit, jutaan ha, dan HPH yang disertai oleh pembangunan yang
tidak berbasis Eko-sistem di Sumatera, Kalimantan dan Papua adalah bukti yang menunjukan
bahwa Bali Road Map dan REDD yang lahir di Indonesia tinggal menjadi dokumen
yang mati diatas kertas. (Erari, Januari 2012).
F
.UN FCCC Kopenhagen 2009, implementasi Bali Road Map gagal?
Pertemuan teknis UN di
Kopenhagen Desember 2009, untuk mengimplementasikan Bali Road Map dan schema
REDD, terutama agenda dan program Adaptasi diperdebatkan, namun pada akhirnya,
terkesan gagal, karena UNFCCC Summit untuk Climate Change tidak
berhasil memperoleh dukungan yang signifikan, kendati masih ada upaya dari
sejumlah Negara untuk melakukan komitmen Bilateral, a.l. Inggris Indonesia,
Australia Indonesia dsb. Negosiasi tentang carbon trade dilakukan secara
bilateral antara lain oleh Inggris dan Australia dengan pemerintah Provinsi
Papua dan Papua Barat. [12]
G.
WOC,
11-15 Mei 2009 Manado dengan Declarasi Manado.
Konvensi UN tentang Climate
Change yang berlangsung di Manado, Mei 2009 terkenal sebagai World Ocean
Conference (WOC) membahas pengelolaan kelautan, perikanan dan keanekaragaman
hayai laut, kususnya terumbu karang. Dalam WOC dan melalui konperensi yang
secara terfokus menetapkan “Coral Reef Trianggle (CRT), Seigitiga Terumbu
karang Dunia, (lihat peta), diputuskan bahwa Epicentrum dari CRT terdapat di
kawasan kepalauan Raja Ampat, Sarong. Negara Negara yang tergabung dalam CRT
adalah Pilipinan, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, PNG dan Salomon Island.
WOC berhasil mengeluarkan
Deklarasi Manado, yang intinya menyerukan agar Negara negara yang memiliki
akses ke laut dan perairan, supaya memproteksi biodiversitas marine, seperti
terumbu karang, semua species ikan, plankton dan rumput laut sebagai species
yang menjadi cadangan oxygen terbesar, selain hutan. Laut menjadi sumber
ekonomi, tetapi juga merupakan alternative terbaik di dunia parawisata.
Epicentrum CRT yang terdapat
di Raja Am pat, menyimpan sekitar 1500 species Ikan, dan lebih dari 600 species
karang yang merupakan asset tertinggi di Plaint.[13]
3.
Apa Respons Gereja menyikapi Phenomena Krisis Ekologi Global dan Dampak Climate
Change.
Diatas sudah dikemukakan
makna relasi spiritual antara species, dimana manusia bertanggung jawab untuk
memelihara alam ini dengan semua unsur ciptaan Allah dalamnya, sesuai amanat
Kristus dalam Yohanes 3:16 : Allah mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengutus
AnakNya yang tunggal….., dan amanat Misi Kristus dalam Markus 16:15, supaya
kita membritakan Injil kepada seluruh Makluk.
Apa yang dibahas pada bagian
berikut ini merupakan kajian dan refleksi Teologis dengan melukan survey ats berbagai
koimitmen Oikumenis Gereja memahami tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga
keutuhan Ciptaan Tuhan ini; a.l seperti yang menjadi nafas dari program DGD :
Justice, Peace and Integrity of Creation.
1. Eko-Theologi : Paradigma Baru.
Tidak bisa disangkal oleh
Gereja dan Theologi bahwa Theologi dibangun berdasarkan relasi segitiga yang
interkonekted , saling berhubungan dan tidak bisa dipisah pisahkan satu dari
yang lain; yakni Relasi Spritual antara Allah, Manusia dan Dunia. Dalam relasi
spiritual itulah, Eko Theologi lahir sebagai response gereja secara universal
dan local. Unsur Alam atau Dunia menjadi penting dan menentukan konstruksi dari
Theologi. Dalam semangat kesatuan relasi diatas, gereja kini berhadapan dengan
Phenomena Pemanasan Global, yakni Dunia Ciptaan Allah, yang dalamnya hidup
Manusia dan semua unsur Alam yang meliputi jutaan species ciptaan Allah yang
tersebar di darat maupun di laut bahkan yang hidup di udara/pohon dst telah sedang mengalami ancaman kehancuran. Inilah
misteri penciptaan yang tidak dapat disangkal oleh Gereja sebagai bagian dari
amanat Pemberitaan Injil. (Markus 16:15 “ Pergilah
keseluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makluk). Fenomena Global warming, yang dahulu dikenal
dengan istilah Krisis Ekologi Global yang berakibat pada Perobahan Iklim telah
menjadi issue Politik, Ekonomi bahkan menjadi bagian dari persoalan Theologi.
Apa yang harus dikatakan Gereja, ketika Dunia Ciptaan Tuhan ini akan menemui
suatu titik pemusnahan. Dunia ciptaan
Allah ini kini menuju
pada tahapan Eco-cida (kematian
lingkungan). Paper ini bertujuan mengangkat prinsip prinsip dasar Theologis
dari keseluruhan Species yang meliputi manusia dan unsur hidup lainnya dalam
alam ini yang membutuhkan perlindungan dan konservasi. Kerusakan Alam harus
dipahami sebagai persoalan Theologis, karena menyangkut kehidupan dari jutaan
species ciptaan Tuhan. Dalam text Penciptaan Kejadian 1:1-29, Allah membri
pengakuan dan affirmasi bahwa terang, air, tumbuh-tumbuhan, binatang dan
keseluruhan ciptaan itu; baik dan amat
baik “ Maka Allah melihat segala yang
dijadikanNya, sungguh amat-baik (Kej 1: 31). Sebagai persoalan Theologi, kerusakan dan
ancaman kematian atas semua species yang hidup, adalah secara kategorial
menjadi bagian dari Misi Penyelamatan dan Perlindungan dari Gereja dan
Theologi.
Krisis Ekologi Global yang
kini menjadi sangat popular sebagai Pemanasan Global disertai dampaknya dalam
bentuk Perubahan
Iklim merupakan suatu Krisis Spriritual.[14]
2.
Pengakuan
dan Affirmasi.
Sebagai langkah pertama dalam
memahami Eko Theologi sebagai Paradigma baru hidup berteologia ialah,
pentingnya Pengakuan dalam diri manusia bahwa krisis Ekologi Global dan fenomena
Pemanasan Global, merupakan alhasil dari
aktivitas manusia dalam membangun dunia ini. Pengakuan bahwa manusia telah menjadi fakor utama dari
pengrusakan alam ini, akan menjadi titik tolak dari suatu proses pembebasan
atas alam ini.
Berdasarkan pengakuan bahwa
manusia sebagai pelaku utama dalam pengrusakan alam ini, maka secara teologis,
pengakuan tadi dikaitkan dengan ketergantungan secara total termasuk secara
spiritual antara manusia dan alam ini. Ketergantungan manusia pada alam inilah
yang menjadi persoalan dasar Etika Lingkungan.[15]
Oleh Al Gore, disebut sebagai ketidak seimbangan ekologis,karena Planit Bumi
kita ini tidak lagi
seimbang, Peran dan kebutuhan manusia telah melampaui ambang batas yang
diperlukan. Lahirnya terminology Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable
Development), yang memiliki semangat persahabatan ( friendly relationship) merupakan
pilihan terakhir bagi terciptanya kembali keseimbangan ekologis.[16]
Maurice Strong, Sekretaris Jendral dari
United Nations Commission on Environment and Development (UNCED) pada KTT Bumi,
Rio de Janeiro 1992 menyatakan bahwa pembangunan dunia sekarang ini terjebak
dalam suatu paradox, antara pelayanan kepada elite manusia yang kecil tetapi
rakus, dan penderitaan sebagian besar penduduk bumi ini. Inilah sumber dan akar
dari krisis ekologi Global dan yang menjadi fenomena Pemanasan Dunia serta dampaknya atas
perobahan Iklim sebagai ancaman paling serius bagi peradaban manusia.[17]
Bilamana Gereja gereja kita
di Indonesia, sadar atas pengakuan universal tadi akan manusia sebagai factor
penyebab krisis Ekologi Plaint kita ini, maka pengakuan itu harus diikuti oleh
suatu sikap keberpihakan atau affirmative kepada Alam ini dalam segala
totalitasnya.. Keberpihakan yang dimaksud harus dinampakan dalam pembaharun relasi
manusia dan alam ini. Dalam studi Dewan Gereja se Dunia, oleh Julio de Santa
Ana dikatakan bahwa dalam gerakan Keesaan Gereja, persoalan kehidupan yang
dipertaruhkan bagi umat Manusia harus pula menyangkut hak hidup bagi alam ini
dengan semua unsur unsurnya.[18]
Sebagai bukti dari sikap
affirmative diatas, maka pada tingkat Global, DGD serta WARC (kini WCRC) telah
melahirkan sejumlah pemahaman tentang visi baru dan arah baru bagi Gerakan
Oikumene tentang perspektif JPIC. Sejak Sidang Raya Vancouver 1983, Gereja
Gereja terlibat dalam proses Konsilier yang intinya ialah upaya pendamaian
antara manusia dan alam. Pertemuan historis yang terkenal sebagai World Convocation on Justice, Peace
and Integrity of Creation ,1990 di Seoul, merupakan mandat dari Vancouver 1983.
Semangat JPIC tersebut itu pula yang member spirit yang kuat pada Sidang Raya
Canberra 1991 yang terkenal dengan tema : Come
Holy Spirit, Renew your Whole Creation. Partisipasi DGD dalam Earth Summit
di Rio de Janeiro,1992 telah mengukir sejarah penting dalam Gerakan Oikumene
bahwa Gereja Gereja dipanggil untuk terlibat dalam suatu gerakan Pembebasan dan
Penyelamatan atas alam ini, yang telah mengalami krisis Ekologis secara
Global..
Tema Theologi Kehidupan dan Keberpihakan atas
Kehidupan dijadikan sebagai salah satu focus dari gerakan Oikumene bertujuan mendorong
semua Gereja anggota DGD untuk berpartisipasi dalam konteks masing-masing;
dalam rangka mempertahankan Keutuhan Ciptaan, agar tercipta Keadilan dan
Perdamaian, antara manusia dan alam.[19].
3. Program Aksi : Adaptasi dalam menghadapi
dampak Climate Change.
Di
salah satu kampanye para pencinta Gus Dur (Gusdurian) ada satu iklan di TShirt
dengan judul : Kita ini CELAKA….. 70% Tanah Air kita Laut. Tetapi GARAM saja
IMPOR. Kalau “BODOH” sih gak apa apa. “Tapi kalau disengaja…??? Kok BODOH….!!
Iklan diatas mencerminkan, betapa Indonesia, yang sangat
paham tentang dampak Climate Change (Perobahan Iklim) terutama karena baik
Pemerintah termasuk Gereja gereja
serta masyarakat umumnya tidak peka atas
dampak Climate Change dan program serta langkah spontan apa yang bisa
dilakukan, dan program jangka panjang yang secara sistematis dilakukan untuk
memasuki Era baru di Planit
ini, dengan segala konsekwensinya.
Salah satu dampak Climate change ialah untuk ekosistim
daratan akan terjadi banjir dan hilangnya lahan pertanian perkebunan,
tergusurnya pemukiman. Dampak lain ialah kawasan kawasan rentan karena
peningkatan aktivitas Gunung berapi, tsunami yang sulit terdeteksi. Langkah
langkah adaptasi sangat penting dilakukan agar masyarakat dapat membangun masa
depan hidupnya di tengah dampak Climate Change yang tidak bisa dihindari.
Dampak Climate Change ialah hilangnya mata pencarian bagi para nelayan,
karena menurunnya stok iklan di perairan pantai, kepulauan. Adaptasi yang dilakukan
ialah pencarian mata pencarian
baru dari laut ke darat. Alternatif baru pencarian pekerjaan serta pengalihan
pemukiman dari pantai ke darat dst itu adalah bentuk bantuk adaptasi spontan
dan yang secara jangka panjang patut direncanakan oleh Pemerintah dan lembaga
lembaga masyarakat termasuk Gereja gereja.
Kritik komunitas GusDur diatas merupakan koreksi bahwa potensi laut di Indonesia yang
mengadung kadar garam berkualitas dapat menjadi pilihan pekerjaan bagi rakyat
yang berada di perairan laut untuk menyambung hidupnya melalui bisnis penegelolaan
air laut sebagai garam. Gereja gereja yang beada di kawasan perairan pantai dan
pulau pulau dapat mengelolo air laut sebagai garam untuk memasuki Pasaran
dunia.
Krisis krisis Global dan Regional serta local yang kini
dihadapi adalah Krisis Air bersih, krisis pangan dan krisis di sector pengembangan ekonomi secara luas di mana mana.
Menghadapi krisis krisis Global diatas, Lembaga Gereja
harus membangun kerjasama dengan berbagai instansi Pemerintah terkait untuk
mendorong warga Gereja melakukan pilihan
baru, melalui bantuan teknis dan modal. Gereja gereja anggota PGI dapat mekukan
suatu komitmen baru untuk secara Oikumenis secara Internasional maupun
Nasional, agar mempersipakan warga Gereja masuki hidup ini dalam era dimana
Climate Change telah menganggu stabilitas ekosistem alam dimana kita hidup.
Relasi Spritual antar
species yang dalam paper ini menjadi benang merah dari tanggung jawab
Gereja memihara alam ini, semakin urgen, karena kesatuan alam telah terganggu
stabilitas dan keutuhannya,karena tangan manusia yang tidak aagi ramah atas
alam ini.
4. Program Mitigasi dalam Gereja di
Indonesia.
Paralel dengan langkah
langkah adaptasi seperti yang diuraikan diatas, maka Gereja gereja turut
bertanggung jawab dalam program Mitigasi, sebagai langkah langkah pasti dan
terukur untuk mengurangi dampak Climate Change yang tidak bisa dihentikan laju
dampaknya secara Global.
Protokol Kyoto yang mendorong
pengurangan Emisi, dan keputusan UNFCCC Climate Change Bali 2007 untuk mendirikan suatu Global Adaptasi Fund, merupakan langkah
strategis, dalamnya Gereja dapat berpartisipasi melakukan berbagai program
Mitigasi mengurangi dampak Climate Change yang mengarah ke Climate Collapse
atau kehancuran Iklim. Inilah langkah langkah darurat yang membutuhkan response
Gereja sesuai amanat menjaga Integritas Keutuhan Ciptaan.
Pada tingkat Nasional, peran
Departemen Diakoni dan Departemen Marturia dapat menggagas program program
Mitigasi untuk diimplementasi oleh Gereja gereja di kawasan pulau pulau,
perairan pantai, seperti penanaman pohon pohon pelindung bibir pantai, seperti
bakau. Gereja gereja yang berada di ekosistim hutan dimana terdapat sungai dan
danau, didorong untuk menanam berbagai jenis pohon pohon serta menghindari
pilihan perkebunan yang tidak ramah lingkungan seperti Kelapa Sawit.
Indonesia memiliki 521
danau, jenis danau reservasi sejumlah 100 yang seluruhnya seluas 21.000 km2.
Gereja gereja (a.l HKBP,GBKP) yang berada di ekosistem danau besar Toba;
GKST yang berada sekitar Danau Poso;
GMIM dengan Danau Tondano; GKI di Tanah Papua, dengan Danau Sentani;
Gereja Kingmi, dengan Danau Paniai, didorong untuk melakukan berbagai program
mitigasi seperti penanaman pohon serta menata pembangunan pada DAS sekitar
danau danau, selain karena motivasi ekologis, tetapi juga motivasi spiritual. (
Makna Danau Tiberias atau Galilea sebagai basis pertama Pekabaran Injil).[20]
Gereja
Gereja, yang hadir di kawasan kepuluan seperti GMIST Sangir Talaud, GERMITA.
GPM, GMIT, Gereja Sumba, BNKP dll di Nias; Gereja Mentawai dan Gereja gereja
yang jemaatnya tersebar di kawasan peraiaran laut, patut melakukan berbagai
program mitigasi sesuai ekosistim kawasan pelayannya untuk mengurangi dampak
Perobahan Iklim di kawasan kawasan tersebut.[21]
Gereja
gereja yang jemaatnya tersebar di kota kota besar seperti Jakarta, Bogor,
Surabaya, Semarang, Makassar, Medan, Denpassar, Bandung dll. Didorong untuk
melakukan aktivitas mitigasi a.l. penanaman pohon lindung di seluruh kawasan
Gereja dan asset gerja lainnya, pengelolaan sampah, terutama sampah plastik
pembersihan aliran sungai sungai, hemat energy, pengurangan pemakaian mobil;
alat alat kosmetik, parfum; listrik, air bersih, pembudi dayaan bunga dan
gerakan anti bunga plastic dst, merupakan sector sector program mitigasi untuk
mengurangi akumulasi effek Gas rumah kaca (CO2). Bangunan Gereja diharapkan
menjadi “zona bebas rokok dan sampah”.
Penutup.
Marilah kita renungkan bahwa
baik manusia atau species, minum dari air yang sama, mendapat oxygen dari hutan
dan laut yang sama, hidup dari tanah yang sama. Kini air, laut, tanah dan hutan
yang menjadi milik bersama itu terancam binasa karena dampak Climate change
atau perobahan Iklim.
Kita juga belajar dari kearifan lokal seorang tokoh Adat Dayak yang menolak
kehadiran HPH: “Simpanlah uang yang kamu mau suap. Kamu bisa mencetak uang
tetapi tidak bisa mencetak tanah. Kami tidak menjual tanah kami.[22]
Dampak dari Climate Change atau perobahan Iklim
merupakan suatu realita yang tidak bisa di halangi ancamannya secara Global.
Trend kerusakan Iklim sudah terasa pada fenomena cuaca ekstrim, banjir, tanah longsor, kenaikan air lair,
naiknya suhu udara dst.
Telah terjadi ketidak
seimbangan ekosistim Global karena Pemanasan bumi. Hal mana sangat berakibat
pada relasi antara manusia dan semua species dalam alam.
Gereja dan Teologi dipanggil
untuk membangun suatu Theological Framework atau kerangka berTeologi yang
berbasis Ekosistem ; a.l. pembaruan liturgis, untuk menyatukan manusia dan alam
ini sebagai sesama ciptaan yang menyembah dan memuliakan Allah Pencipta.
Pembaruan Liturgis gereja
ini mengandung motivasi utama agar
Gereja mengintgerasikan unsur unsur alam sebagai komponen penting dalam ibadah gereja; a.l. Air, terang, bunga,
batu sebagai symbol symbol alam yang merepresentasi seluruh species ciptaan
Allah ( band Mazmur 104). Inilah
paradigma baru yang lahir dari Eko-Teologi sebagai respons Gereja atas
Phenomena Global Warming dan Dampak nya atas Perobahan Iklim atau Climate
Change yang telah memasuki tahapan Climate Collapse.
Jakarta,
13 Januari 2012.
Daftar Pustaka :
1.
Celia Denne Drumond, Teologi dan Ekologi,
BPK-GM 1996.
2.
Karel.Phil Erari., Tanah Kita, Hidup kita,
PSH Jakarta, 1997.
3.
David.W.Dor, Down to the Wire; Confrinting
Climate Collapse, Oxfort New York, 2009.
4.
Wesley Granberg Michaelson, Redeeming the
Cration, WCC Publication, 1992.
5.
John Stott., Isu isu Global, Menantang
Kepemimpimpinan Kristen, Yayasan Komunikasi Bina Kristen/OMF, Jakarta 2005.
6.
Paul Knitter., Satu Bumi Banyak Agama, BPK
1995.BPK GM 2004.
7.
Malcolm Brownlee., Tugas Manusia Dalam Dunia
Milik Tuhan., BPK GM 2007.
8.
Tissa Balasuriya., Teologi Siarah, BPK 2011.
9.
Karel Phil Erari, Yubileum dan Pembebasan
Menuju Papua Baru, Aksara Karunia 2006.
10. Al
Gore., Earth in the Balance, Ecology and Human Spirit, New York, London, 1992.
11. Julia
de Santa Ana., Elements of Theology of Life., WCC, 1984.
12. Gerard
vandenzande., Christians in the Crises, Toronto, 1984.
13. David
Hallman., A Place in Creation., Toronto
1992.
[1] Paper disampaikan pada Seminar PGI tentang
Eko-Theologi sebagai Respons atas Fenomene Global Warming, Jogyakarta, 15-17 June, 2012.
[2] Kini Ketua PGI; dan Penasihat Senior Papua
untuk Marine, bagi Conservasi Internasional, The Nature Conservansi dan World
Wide Fund Foundation.
[3]
Lihat Celia Deane Drumond., dalam Teologi dan Ekologi. BPK GM, 1996, hal. 5.
Kawasan pulau pulau Pasifik sebagai Benua Air akan hilang lenyap pada atlas
bumi ini, jika laju Pemanasan Global berlanjut sampai 50 tahun yang akan
datang.
[4] Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia
meningkat menjadi 6 milyard, tetapi rata rata setiap hari 5 juta penduduk dunia mati karena krisis air
bersih pangan, penyakit dan perang; lihat John Scott dalam Isue Issue Global,
Menantang Kepemimpinan Kristen, Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, Jakarta
2005, hal. 146; disana dicatat bahwa penduduk dunia sampai tahun 1980 mencapai 4
milyard. Pada tahun 2010 sudah mencapai lebih dari 6,5 milyard; 1,5 milyard
terdapat di RRT dan 800 juta di India. Di Indonesia terdapat 250 juta yang
terus meningkat setiap tahun rata rata 2 juta. Penemuan terakhir ternyata
jumlah pulau di Indonesia, bukan 17 ribu, tetapi 13.ribu.
[5] Lihat Karel Phil Erari dalam Tanah Kita Hidup
Kita, PSH Jakarta 1997, hal. 217. Dalam bagian paparan tentang Spiritualitas
antara Species, akan digaris bawahi hubungan manusia-alam sebagai unsure yang
sangat hakiki secara Theologis.
[6] Perhatikan Eko-Theologi sebagai paradigm baru
dalam Erari ,Tanah Kita Hidup Kita; opcit hal.219-228.
[7] Lihat David W Dorr., Down to the Wire,
Confronting Climate Collapse, Oxford New York, 2009, hal X, hal 111- 126.
[9][9][9] Lihat Wesly Granberg Michaelson, dalam
Reddeming the Craetion, the Rio Earth Summit, WCC Publication Geneva, 1992.
[10] Pada hari Sabtu, 12 Juni 1992, se ribu
perempuan, peserta KTT Bumi bersama 9 ribu perempuan Brazil berkemah semalam
suntuk dan pada pagi hari mereka mencelupkan kaca “make up” sambil bersumpah
dan berpesan dibawah sinar matahari agar semua perempuan di dunia terlibat
mencegah kerusakan alam ini yang diakibatkan oleh ulah kaum pria. Lihat laporan
Phil Erari, dari KTT Bumi, kepada MPH PGI dalam Sidang MPL PGI Tentena, Agustus
1992.
[11]
Dalam presentasi Sekum PGI, Dr Daulai, disebutkan a.l. bahwa Tsunami termasuk kategori
kesalahan manusia. Hal tersebut mendapat pertanyaan dari kalangan DPR RI,
apakah PGI memahami factor penyebab Tsunami atau tidak.
[12]
Carbon trade kini menjadi suatu program Adaptasi dalam rangka mengurangi dampak
Climate Change berupa pemeliharaan Hutan serta pengkaplingan hutan sebagai
kawasan yang diproteksi melalui
transaksi perdagangan Carbon. Tidak semua Negara memiliki skema yang sama dalam
soal pembagian presentasi Carbon trade ini. Cina menawarkan 35% untuk rakyat, 15 untuk Pemerintah Lokal, dan 15%
untuk Nasional.
[13]
Epicentrum Terumbu karang di Raja Am pat kini dikawal oleh dua Lembga
Konservasi Internasional : Conservasi internasional Indonesia (CII) dan The
Nature Conservancy (TNC)
[14] Lihat Phil Erari, dalam Yubileum dan
Pembebasan Menuju Papua Baru, Aksara Karunia dan Gramedia, Jakarta, 2006 hal
134 dst, tentang Krisis Atas Alam sebagai krisis Spiritual.
[15]
Llihat David Hallman, A Place in Creation, Ecological Visions, United Church
Publications, Toronto 1992, hal. 97.
[16]
Al Gore, Earth in the Balance, Ecology and the Human Spirit, Houghton Millflin
Company, Boston, New York,London, 1992 hal.332.
[17]
Gerard Vandezande., Christians in the Crises. Anglican Books, Toronto Book
Centre, 1984 hal. 47.
[18]
Lihat Julia de Santa Ana, Elements for a Theology of Life, paper lepas DGD,
1984.
[19]
Band.Affirming Life, Theology of Life, an Invitation to Participate,WCC
Publication ,Program Unit III JPIC.1995
[20]
Danau danau besar di Indonesia, a.l.
DanauToba, Danau Tondano,Danau Poso,Danau Kalimutu,Danau Sentani dan
Danau Paniai dikelilingi oleh jemaat jemaat Gereja anggota PGI memiliki mandate
ekologis untuk menjaga pelestarian Danau yang mengandung makna spiritual.
[21]
Gereja gereja seperti GPKB (Bali), GPM GMIM dan GKI Tanah Papua dimana terdapat
kawasan yang dilayani oleh berbagai lembaga Konservasi Internasional, didorong
untuk bekerjasam dan membangun jaringan untuk berbagai program mitigasi,
seperti penanam pohon, proteksi terumbu karang dst.
[22]
Eric Hansen, Stranger in the Forest,
On Foor Across Borneo, Methuen Publishing, London, 1988, p 280
Geen opmerkings nie :
Plaas 'n opmerking