Dinsdag 11 Junie 2013

Global Warming dan Dampak Climate Change



  Global Warming dan Dampak Climate Change di Indonesia,
Sekitar Eko-Theologi  tentang Relasi Spiritual Antar  Species
dan Response Gereja  Berbasis Ekologis.[1

Oleh : Karel Phil Erari.[2]


Pengantar.
Phenomena Global Warming atau Pemanasan Global merupakan Realita yang kini dihadapi seluruh Dunia, yang berpotensi atas hilangnya sebagian besar daratan, terutama dikawasan pulau pulau pada ketinggian dibawah 2-3 meter diatas permukaan laut; berikut hilangnya jutaan species yang terdapat di darat maupun di laut.[3] Diperkirakan bahwa pada akhir abad 21 ini, sejuta jenis binatang, tumbuhan dan serangga terancam punah akibat kegiatan manusia. Fakta seperti ini bukan saja melanda species dalam alam , tetapi juga menyangkut existensi manusia sendiri, jutaan manusia akan punah sebagai akibat dari krisis air bersih, krisis pangan dan konflik antar bangsa karena perang.[4] Indonesia dengan 13.000 pulau besar dan kecil, diperkirakan akan keilangan 2-3 ribu pulau yang ketinggiannya dibawah 2-3 meter diatas permukaan air laut, dalam kurun waktu 20-30 tahun yang akan datang. Bangladesh akan kehilangan sepertiga daratan, termasuk ratusan ha tanah di Pantura Pulau Jawa.
Paper ini bertujuan mempresentasikan aspek Spiritualitas diantara Sesama Ciptaan,yang secara kategorial disebut dalam Kejadian 1- 2. Dalam Kisah Penciptaan Langit dan Bumi, disebut tentang Bumi Langit dan segala isinya. Dalam Ekologi dan Biologi disebut sebagai Species. Dalam text ini akan kita jumpai phrase tentang Hubungan Antar Species sebagai istilah yang hendak mendorong dan memperkenalkan paradigm baru dari relasi Manusia dan sesama Ciptaan dalam perspektif Eko-Theologi. Dalam perspektif baru ini, manusia hendak ditempatkan diatas pentas Penciptaan yang sama sama memiliki spiritualitas,dan berada diatas platform yang sama sebagai sesama ciptaan dari Penciptaan Langit dan Bumi dan segala isinya dimana  terdapat unsur  kehidupan .[5]
Dengan adanya phenomena Pemanasan Global serta dampak terjadinya Perobahan Iklim, maka jutaan sepecies di alam termasuk manusia sebagai sesama Ciptaan sedang terancam punah dan hilang.  Inilah ancaman terbesar dalam sejarah Peradaban manusia, selama jutaan tahun ini; dan serentak itulah merupakan bagian integral dari Diakoia baru yang kini menjadi mandat dari Gereja. PGI sejak Konvensi Dunia di Seoul 1992, tentang Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dari WCC, telah mengintegrasikan tema Lingkungan Hidup sebagai agenda Diakoni Gereja di Indonesia, namun belum menjemaat secara merata diantara gereja anggota PGI. Bahkan tidak semua pusat pendidikan Theologia, anggota Persethia menintegrasikan Ekologi atau Eko-Theologia dalam kurikulumnya sebagai salah satu mata kuliah khusus. Salah satu butir tesis yang saya bangun dalam studi Ekologi sebelumnya; dikatakan bahwa Theologi tanpa Ekologi, bukanlah Theologi yang utuh. Hal ini mengindikasikan betapa Ekologi menjadi sangat menentukan dalam konstruksi Theologi.[6]

I.              Dari Climate Change (Perobahan Iklim) menuju ke Climate Collapse ( Kehancuran Iklim).
Semenjak diterbitkannya Gro Brundtland Report, 1967 dan laporan Club of Rome ( 1972) serta laporan Pemerintahan se Dunia yan dipimpin Willy Brandt, Kanselir Jerman Barat, ditambah pula dengan laporan Lester Brown dari World Watch Intitute, yang berjudul : State of the World, 1989, maka dunia menjadi sadar dan gempar bahwa dunia ini sudah terancam binasa.[7] David W Dorr dalam bukunya Confronting Climate Collapse, mengkontatir secara tegas bahwa temuan berbagai lembaga Dunia sejak 1972, yang dilaporkan pada UN Summit di Stockholm 1972, tentang Krisis Ekologi Global, terutama inisiative PBB untuk terbentuknya UNEP (United Nations Environment Program), dan yang beralanjut pada KTT Bumi; Earth Summit Rio de Janeiro 1992; yang melahirkan UNCED (United Nations Commission on Environment and Development) serta Protocol Kyoto, 1997 sebagai awal dari komitmen PBB untuk mengurangi Emmissi CO2; dan KTT Bumi di Johannesburg, Agustus 2002 tentang Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Development), bahkan dengan lahirnya UNFCCC ( Kerangka  Convensi PBB tentang Climate Change) dalam Konvensi UN di Bali Desember 2007 yang terkenal dengan (Bali Road Map) yang melahirkan schema REDD ( Reduction of Emmissions of Deforestation and Forest Degradation), lalu secara khusus melalui UN World Ocean Conference (WOC) yang terkenal dengan Manado Declaration a.l. tentang perlindungan atas Sebaran Terumbu Karang di CRT (Coral Reef Trianggle), 11-15 Mei 2009; David W Door tiba pada kesimpulannya dalam bukunya bahwa, baik UN maupun semua lembaga lembaga Dunia yang dibentuk untuk menjaga keseimbangan Eko-sistem Plaint ini sudah gagal.
Climate Change kini menjadi ancaman yang sangat serius dan sedang mengarah pada Kehancuran Iklim atau Climate Collapse. [8] (David.W.Dor)

2. Tujuh Inisiative PBB dalam rangka Solusi atas Krisis Ekologi, serta Dampak  Climate Change.
a.  UN Conference  on Human Environment. Stockholm  (UNEP)1972.
Konperensi PBB di Stockholm pada tahun 1972, merupakan tonggak  historis dari lembaga Dunia ini, untuk memberi perhatian atas Krisis Ekologi Global yang mengancam Lingkungan Hidup Manusia. Term Human Environment menjadi semboyan penting bahwa ancaman atas Lingkungan Hidup, sama dengan ancaman atas Hidup manusia. Pembangunan Dunia yang berbasis  Ramah Lingkungan (Environment Friendly) dan Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Development)  ketika itu menjadi “anak mas” dari keseluruhan agenda PBB.
b. UNCED (United Nations Commission on Environment and Development),KTT Bumi, Earth Summit,Rio de Janeiro, 1992.
KTT Bumi  Rio, Juni 1992 yang berlangsung, 20 tahun setelah Konperensi pertama UN Stockholm 1972 itu menghadirkan 5 ribu peserta dari 179 negara, telah berhasil mengeluarkan doc.Agenda 21, dan Piagam Keneka Ragaman Hayati. Salah satu doc lain, seperti Earth Charter tidak behasil diterima. Berbagai action plan sudah diterima untuk melanjutkan kesepakatan Stockholm yang menekan laju pengrusakan alam karena aktivitas Pembangunan Industri yang bersifat merusak oleh Negara Negara Inustri.
Kalangan World Council of Chuches, Unit JPIC yang dipimpin Dr Wesly Granberg melaksanakan Pertemuan Paralel di Rio de Janeiro, dengan mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) sebagai salah satu kontribusi penting dari studi WCC.[9] Sebagai peserta yang mewakili Gereja gereja di Indonesia, saya mencatat salah satu persitiwa historis yang monumental, ketika 10.000 perempuan  seluruh dunia, melakukan komitmen di bibir pantai Rio dengan sumpah dan pesan melalui ribuan kaca “make up” dengan transmisi melalui energy surya kepada seluruh perempuan di dunia, untuk menjaga alam ini dari kerusakan, karena ulah kaum laki laki.[10]
c. Kyto Protocol 1997:  Pencanangan lahirnya Kerangka Konvensi PBB mengenai Climate Change (UNFCCC).
Protokol Kyto berlangsung lima tahun setelah KTT Bumi Rio, sebagai salah satu progam Aksi dari Agenda 21, yang member focus pada komitmen Internasional untuk mengurangi Emmisi, sebagai altenatif penyelamatan Dunia ini yang berada pada ambang kehancuran. Kyoto Protokol terdiri dari 28 pasal yang mengatur pembatasan Emmisi di 55 negara Industri sampai batas 5-6 persen, dan agar pada tahun 2005 terlihat dampaknya. Dalam protocol ini disepakati agar antara tahun 2008 hingga 2012,batasan Emisi itu menjadi Komitmen Internasional. USA dan Australia tidak menandatangani Protokol ini.(USA penghasil emmissi tertinggi). Rusia baru menanda tanganinya pada tahun 2004. Indonesia telah menandatangani Kyoto Protol, namun dalam program aksi,  gagal dan lalai, bahkan menjadi Negara penghasil Emisi tertinggi di dunia, menyusul Brasil dan Rusia.
Jenis jenis Emisi berbahaya yang termasuk dalam daftar Protokol Kyoto a.l.
1.    Gas Rumah Kaca CO2 Greenhouse.
2.    Methan CH4.
3.    CFCs  Choloroflurocarbon.
4.    HCFCs hidrochloroflurocarbon.
Sektor sector kategori yang potensial menghasilkan emisi antara lain : Energy, Bahan bakar, energy industry, transportasi, semua produk industry untuk rumah dan kantor, seperti AC, alat semprot, parfum,  dst.
Target utama Protokol Kyoto, ialah agar pada tahun 2020 terjadi pengurangan 30%,  emisi di pertengahan abad 21. Bila itu tidka tercapai, maka Eko Sistem Planit Bumi ini pasti akan memasuki tahapan kehancuran . Salah satu schema strategis yang disodorkan ialah “The Clean Development Mechanism (CDM).”

d. UN Summit on Sustainable Development di Johannesburg 2002.
KTT PBB Johannesburg, tahun 2002, berlangsung 10 tahun setelah KTT Bumi Rio de Janeiro. Agenda yang menjadi focus ialah Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Development), sebagai pilihan strategis mengurangi akumulasi Emisi yang terus bertambah. Dalam petemuan Johannesburg itulah seluruh perangkat UN, Lembaga lembaga Keuangan Internasional,IMF,Bank Dunia dst, melakukan penyesuaian secara sistematis agar sector sektor Pembangunan yang menghasilkan berbagai emisi dikurangi secara bertahap dan signifikan sampai ke tingkat Toleransi yang menjamin keseimbangan Ekosistem secara local, regional dan Global. Johannesburg  mencatat banyak Negara Industri yang belum memenuhi kewajibannya pasca Protokol Kyoto 1997.
e. UNFCCC Bali Desember 2007.
 Konvensi PBB tentang Climate Change (United Nations Framework Convention on Climate Change) Bali Desember 2007 berhasil mendeklarasikan suatu Peta Jalan (Bali Road Map) yang dikenal dengan schema Reduced Emmission on Deforestation and Forest Degradation) REDD. Konvensi UN yang dihadiri 10.000 peserta dari 180 negara itu mengeluarkan sejumlah keputusan strategis a.l :
1.    Deforestasi dan Forest Managemant.
2.    Bantuan technologi untuk Negara berkembang.
3.    Pendirian Badan yang menglola Dana bagi Adaptasi untuk Climate Change.
4.    Meninjau Mekanisme keuangan menuju Keuangan Lingkungan Global.
UNFCCC Bali terkenal dengan Peta Jalan Bali (Bali Road Map) , didukung oleh 13 keputusan penting dan strategis, dalam hal kebijakan dan komitmen untuk mengelola Hutan secara berrtanggung jawab diatas prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Berbagai rekomendasi terutama prinsip prinsip Kyoto Protokol, yang belum ditandatangani oleh Australia dan Amerika, pada akhirnya, diterima, dan keseluruhan delegasi mendukung schema Bali Road Map sebagai alternative dan yang memandu semua kebijakan untuk melaksanakan REDD di masing masing Negara.
Bagi Indonesia, REDD yang antara lain didukung oleh Indonesia , atas prakarsa PNG merupakan sumbangan historis, namun apakah peran penting ini akan dikawal dan dilaksanakan, itu merupakan hal tersendiri yang membutuhkan partisipasi dari Civil society, termasuk Gereja di Indonesia..Wakil wakil PGI yang hadir, antara lain presentasi Sekum PGI ketika itu, belum cukup mencerminkan pemahaman tentang penyebab dari Climate Change, karena memasukan Tsunami sebagai factor kesalahan manusia.[11]
Catatan : Agenda UNFCCC yang berlangsung di Bali  Indonesia membahas, dampak emisi yang secara khusus disebabkan oleh pengelolaan hutan (forest management) yang buruk,  kasar dan tidak bersahabat. Indonesia tercatat penghasil emisi tertinggi di dunia. .Bali Road Map dan schema REDD nampaknya belum diimplementasi oleh Instansi terkait seperti Kementerian Kehutanan. Ijin pengelolaan Industri Kelapa Sawit, jutaan ha,  dan HPH yang disertai oleh pembangunan yang tidak berbasis Eko-sistem di Sumatera, Kalimantan dan Papua adalah bukti yang menunjukan bahwa Bali Road Map dan REDD yang lahir di Indonesia tinggal menjadi dokumen yang mati diatas kertas. (Erari, Januari 2012).
F .UN FCCC Kopenhagen 2009, implementasi Bali Road Map gagal?
Pertemuan teknis UN di Kopenhagen Desember 2009, untuk mengimplementasikan Bali Road Map dan schema REDD, terutama agenda  dan program  Adaptasi diperdebatkan, namun pada akhirnya, terkesan  gagal, karena  UNFCCC Summit untuk Climate Change tidak berhasil memperoleh dukungan yang signifikan, kendati masih ada upaya dari sejumlah Negara untuk melakukan komitmen Bilateral, a.l. Inggris Indonesia, Australia Indonesia dsb. Negosiasi tentang carbon trade dilakukan secara bilateral antara lain oleh Inggris dan Australia dengan pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. [12]

G. WOC, 11-15 Mei 2009 Manado dengan Declarasi Manado.
Konvensi UN tentang Climate Change yang berlangsung di Manado, Mei 2009 terkenal sebagai World Ocean Conference (WOC) membahas pengelolaan kelautan, perikanan dan keanekaragaman hayai laut, kususnya terumbu karang. Dalam WOC dan melalui konperensi yang secara terfokus menetapkan “Coral Reef Trianggle (CRT), Seigitiga Terumbu karang Dunia, (lihat peta), diputuskan bahwa Epicentrum dari CRT terdapat di kawasan kepalauan Raja Ampat, Sarong. Negara Negara yang tergabung dalam CRT adalah Pilipinan, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, PNG dan Salomon Island.
WOC berhasil mengeluarkan Deklarasi Manado, yang intinya menyerukan agar Negara negara yang memiliki akses ke laut dan perairan, supaya memproteksi biodiversitas marine, seperti terumbu karang, semua species ikan, plankton dan rumput laut sebagai species yang menjadi cadangan oxygen terbesar, selain hutan. Laut menjadi sumber ekonomi, tetapi juga merupakan alternative terbaik di dunia parawisata.
Epicentrum CRT yang terdapat di Raja Am pat, menyimpan sekitar 1500 species Ikan, dan lebih dari 600 species karang yang merupakan asset tertinggi di Plaint.[13]


3. Apa Respons Gereja menyikapi Phenomena Krisis Ekologi Global dan Dampak Climate Change.
Diatas sudah dikemukakan makna relasi spiritual antara species, dimana manusia bertanggung jawab untuk memelihara alam ini dengan semua unsur ciptaan Allah dalamnya, sesuai amanat Kristus dalam Yohanes 3:16 : Allah mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengutus AnakNya yang tunggal….., dan amanat Misi Kristus dalam Markus 16:15, supaya kita membritakan Injil kepada seluruh Makluk.
Apa yang dibahas pada bagian berikut ini merupakan kajian dan refleksi Teologis dengan melukan survey ats berbagai koimitmen Oikumenis Gereja memahami tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga keutuhan Ciptaan Tuhan ini; a.l seperti yang menjadi nafas dari program DGD : Justice, Peace and Integrity of Creation.
1.    Eko-Theologi : Paradigma Baru.
Tidak bisa disangkal oleh Gereja dan Theologi bahwa Theologi dibangun berdasarkan relasi segitiga yang interkonekted , saling berhubungan dan tidak bisa dipisah pisahkan satu dari yang lain; yakni Relasi Spritual antara Allah, Manusia dan Dunia. Dalam relasi spiritual itulah, Eko Theologi lahir sebagai response gereja secara universal dan local. Unsur Alam atau Dunia menjadi penting dan menentukan konstruksi dari Theologi. Dalam semangat kesatuan relasi diatas, gereja kini berhadapan dengan Phenomena Pemanasan Global, yakni Dunia Ciptaan Allah, yang dalamnya hidup Manusia dan semua unsur Alam yang meliputi jutaan species ciptaan Allah yang tersebar di darat maupun di laut bahkan yang hidup di udara/pohon dst telah sedang mengalami ancaman kehancuran. Inilah misteri penciptaan yang tidak dapat disangkal oleh Gereja sebagai bagian dari amanat Pemberitaan Injil. (Markus 16:15 “ Pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makluk). Fenomena Global warming, yang dahulu dikenal dengan istilah Krisis Ekologi Global yang berakibat pada Perobahan Iklim telah menjadi issue Politik, Ekonomi bahkan menjadi bagian dari persoalan Theologi. Apa yang harus dikatakan Gereja, ketika Dunia Ciptaan Tuhan ini akan menemui suatu titik pemusnahan.  Dunia ciptaan Allah ini kini menuju pada tahapan Eco-cida (kematian lingkungan). Paper ini bertujuan mengangkat prinsip prinsip dasar Theologis dari keseluruhan Species yang meliputi manusia dan unsur hidup lainnya dalam alam ini yang membutuhkan perlindungan dan konservasi. Kerusakan Alam harus dipahami sebagai persoalan Theologis, karena menyangkut kehidupan dari jutaan species ciptaan Tuhan. Dalam text Penciptaan Kejadian 1:1-29, Allah membri pengakuan dan affirmasi bahwa terang, air, tumbuh-tumbuhan, binatang dan keseluruhan ciptaan itu; baik dan amat baikMaka Allah melihat segala yang dijadikanNya, sungguh amat-baik (Kej 1: 31).  Sebagai persoalan Theologi, kerusakan dan ancaman kematian atas semua species yang hidup, adalah secara kategorial menjadi bagian dari Misi Penyelamatan dan Perlindungan dari Gereja dan Theologi.
Krisis Ekologi Global yang kini menjadi sangat popular sebagai Pemanasan Global disertai dampaknya dalam bentuk Perubahan Iklim merupakan suatu Krisis Spriritual.[14]

2.    Pengakuan dan Affirmasi.
Sebagai langkah pertama dalam memahami Eko Theologi sebagai Paradigma baru hidup berteologia ialah, pentingnya Pengakuan dalam diri manusia bahwa krisis Ekologi Global dan fenomena Pemanasan Global, merupakan  alhasil dari aktivitas manusia dalam membangun dunia ini. Pengakuan bahwa  manusia telah menjadi fakor utama dari pengrusakan alam ini, akan menjadi titik tolak dari suatu proses pembebasan atas alam ini.
Berdasarkan pengakuan bahwa manusia sebagai pelaku utama dalam pengrusakan alam ini, maka secara teologis, pengakuan tadi dikaitkan dengan ketergantungan secara total termasuk secara spiritual antara manusia dan alam ini. Ketergantungan manusia pada alam inilah yang menjadi persoalan dasar Etika Lingkungan.[15] Oleh Al Gore, disebut sebagai ketidak seimbangan ekologis,karena Planit Bumi kita ini tidak lagi seimbang, Peran dan kebutuhan manusia telah melampaui ambang batas yang diperlukan. Lahirnya terminology Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development), yang memiliki semangat persahabatan ( friendly relationship) merupakan pilihan terakhir bagi terciptanya kembali keseimbangan ekologis.[16] Maurice Strong,  Sekretaris Jendral dari United Nations Commission on Environment and Development (UNCED) pada KTT Bumi, Rio de Janeiro 1992 menyatakan bahwa pembangunan dunia sekarang ini terjebak dalam suatu paradox, antara pelayanan kepada elite manusia yang kecil tetapi rakus, dan penderitaan sebagian besar penduduk bumi ini. Inilah sumber dan akar dari krisis ekologi Global dan yang menjadi fenomena Pemanasan Dunia serta dampaknya atas perobahan Iklim sebagai ancaman paling serius bagi peradaban manusia.[17]
Bilamana Gereja gereja kita di Indonesia, sadar atas pengakuan universal tadi akan manusia sebagai factor penyebab krisis Ekologi Plaint kita ini, maka pengakuan itu harus diikuti oleh suatu sikap keberpihakan atau affirmative kepada Alam ini dalam segala totalitasnya.. Keberpihakan yang dimaksud  harus dinampakan dalam pembaharun relasi manusia dan alam ini. Dalam studi Dewan Gereja se Dunia, oleh Julio de Santa Ana dikatakan bahwa dalam gerakan Keesaan Gereja, persoalan kehidupan yang dipertaruhkan bagi umat Manusia harus pula menyangkut hak hidup bagi alam ini dengan semua unsur unsurnya.[18]
Sebagai bukti dari sikap affirmative diatas, maka pada tingkat Global, DGD serta WARC (kini WCRC) telah melahirkan sejumlah pemahaman tentang visi baru dan arah baru bagi Gerakan Oikumene tentang perspektif JPIC. Sejak Sidang Raya Vancouver 1983, Gereja Gereja terlibat dalam proses Konsilier yang intinya ialah upaya pendamaian antara manusia dan alam. Pertemuan historis yang terkenal  sebagai World Convocation on Justice, Peace and Integrity of Creation ,1990 di Seoul, merupakan mandat dari Vancouver 1983. Semangat JPIC tersebut itu pula yang member spirit yang kuat pada Sidang Raya Canberra 1991 yang terkenal dengan tema : Come Holy Spirit, Renew your Whole Creation. Partisipasi DGD dalam Earth Summit di Rio de Janeiro,1992 telah mengukir sejarah penting dalam Gerakan Oikumene bahwa Gereja Gereja dipanggil untuk terlibat dalam suatu gerakan Pembebasan dan Penyelamatan atas alam ini, yang telah mengalami krisis Ekologis secara Global..
 Tema Theologi Kehidupan dan Keberpihakan atas Kehidupan dijadikan sebagai salah satu focus dari gerakan Oikumene bertujuan mendorong semua Gereja anggota DGD untuk berpartisipasi dalam konteks masing-masing; dalam rangka mempertahankan Keutuhan Ciptaan, agar tercipta Keadilan dan Perdamaian, antara manusia dan alam.[19].

3.     Program Aksi : Adaptasi dalam menghadapi dampak Climate Change.
Di salah satu kampanye para pencinta Gus Dur (Gusdurian) ada satu iklan di TShirt dengan judul : Kita ini CELAKA….. 70% Tanah Air kita Laut. Tetapi GARAM saja IMPOR. Kalau “BODOH” sih gak apa apa. “Tapi kalau disengaja…??? Kok BODOH….!!

Iklan diatas mencerminkan, betapa Indonesia, yang sangat paham tentang dampak Climate Change (Perobahan Iklim) terutama karena baik Pemerintah termasuk  Gereja gereja serta  masyarakat umumnya tidak peka atas dampak Climate Change dan program serta langkah spontan apa yang bisa dilakukan, dan program jangka panjang yang secara sistematis dilakukan untuk memasuki Era baru di Planit ini, dengan segala konsekwensinya.
Salah satu dampak Climate change ialah untuk ekosistim daratan akan terjadi banjir dan hilangnya lahan pertanian perkebunan, tergusurnya pemukiman. Dampak lain ialah kawasan kawasan rentan karena peningkatan aktivitas Gunung berapi, tsunami yang sulit terdeteksi. Langkah langkah adaptasi sangat penting dilakukan agar masyarakat dapat membangun masa depan hidupnya di tengah dampak Climate Change yang tidak bisa dihindari.
Dampak Climate Change ialah  hilangnya mata pencarian bagi para nelayan, karena menurunnya stok iklan di perairan pantai, kepulauan. Adaptasi yang dilakukan ialah pencarian mata pencarian baru dari laut ke darat. Alternatif baru pencarian pekerjaan serta pengalihan pemukiman dari pantai ke darat dst itu adalah bentuk bantuk adaptasi spontan dan yang secara jangka panjang patut direncanakan oleh Pemerintah dan lembaga lembaga masyarakat termasuk Gereja gereja.
Kritik komunitas GusDur diatas merupakan  koreksi bahwa potensi laut di Indonesia yang mengadung kadar garam berkualitas dapat menjadi pilihan pekerjaan bagi rakyat yang berada di perairan laut untuk menyambung hidupnya melalui bisnis penegelolaan air laut sebagai garam. Gereja gereja yang beada di kawasan perairan pantai dan pulau pulau dapat mengelolo air laut sebagai garam untuk memasuki Pasaran dunia.
Krisis krisis Global dan Regional serta local yang kini dihadapi adalah Krisis Air bersih, krisis pangan dan krisis di sector pengembangan ekonomi secara luas di mana mana.
Menghadapi krisis krisis Global diatas, Lembaga Gereja harus membangun kerjasama dengan berbagai instansi Pemerintah terkait untuk mendorong  warga Gereja melakukan pilihan baru, melalui bantuan teknis dan modal. Gereja gereja anggota PGI dapat mekukan suatu komitmen baru untuk secara Oikumenis secara Internasional maupun Nasional, agar mempersipakan warga Gereja masuki hidup ini dalam era dimana Climate Change telah menganggu stabilitas ekosistem alam dimana kita hidup.
Relasi Spritual antar  species yang dalam paper ini menjadi benang merah dari tanggung jawab Gereja memihara alam ini, semakin urgen, karena kesatuan alam telah terganggu stabilitas dan keutuhannya,karena tangan manusia yang tidak aagi ramah atas alam ini.
4.    Program Mitigasi dalam Gereja di Indonesia.
Paralel dengan langkah langkah adaptasi seperti yang diuraikan diatas, maka Gereja gereja turut bertanggung jawab dalam program Mitigasi, sebagai langkah langkah pasti dan terukur untuk mengurangi dampak Climate Change yang tidak bisa dihentikan laju dampaknya secara Global.
Protokol Kyoto yang mendorong pengurangan Emisi, dan keputusan UNFCCC Climate Change   Bali 2007 untuk mendirikan  suatu Global Adaptasi Fund, merupakan langkah strategis, dalamnya Gereja dapat berpartisipasi melakukan berbagai program Mitigasi mengurangi dampak Climate Change yang mengarah ke Climate Collapse atau kehancuran Iklim. Inilah langkah langkah darurat yang membutuhkan response Gereja sesuai amanat menjaga Integritas Keutuhan Ciptaan.
Pada tingkat Nasional, peran Departemen Diakoni dan Departemen Marturia dapat menggagas program program Mitigasi untuk diimplementasi oleh Gereja gereja di kawasan pulau pulau, perairan pantai, seperti penanaman pohon pohon pelindung bibir pantai, seperti bakau. Gereja gereja yang berada di ekosistim hutan dimana terdapat sungai dan danau, didorong untuk menanam berbagai jenis pohon pohon serta menghindari pilihan perkebunan yang tidak ramah lingkungan seperti Kelapa Sawit.
Indonesia memiliki 521 danau, jenis danau reservasi sejumlah 100 yang seluruhnya seluas 21.000 km2. Gereja gereja (a.l HKBP,GBKP) yang berada di ekosistem danau besar  Toba;  GKST yang berada sekitar Danau Poso;  GMIM dengan Danau Tondano; GKI di Tanah Papua, dengan Danau Sentani; Gereja Kingmi, dengan Danau Paniai, didorong untuk melakukan berbagai program mitigasi seperti penanaman pohon serta menata pembangunan pada DAS sekitar danau danau, selain karena motivasi ekologis, tetapi juga motivasi spiritual. ( Makna Danau Tiberias atau Galilea sebagai basis pertama Pekabaran Injil).[20]
Gereja Gereja, yang hadir di kawasan kepuluan seperti GMIST Sangir Talaud, GERMITA. GPM, GMIT, Gereja Sumba, BNKP dll di Nias; Gereja Mentawai dan Gereja gereja yang jemaatnya tersebar di kawasan peraiaran laut, patut melakukan berbagai program mitigasi sesuai ekosistim kawasan pelayannya untuk mengurangi dampak Perobahan Iklim di kawasan kawasan tersebut.[21]
Gereja gereja yang jemaatnya tersebar di kota kota besar seperti Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, Makassar, Medan, Denpassar, Bandung dll. Didorong untuk melakukan aktivitas mitigasi a.l. penanaman pohon lindung di seluruh kawasan Gereja dan asset gerja lainnya, pengelolaan sampah, terutama sampah plastik pembersihan aliran sungai sungai, hemat energy, pengurangan pemakaian mobil; alat alat kosmetik, parfum; listrik, air bersih, pembudi dayaan bunga dan gerakan anti bunga plastic dst, merupakan sector sector program mitigasi untuk mengurangi akumulasi effek Gas rumah kaca (CO2). Bangunan Gereja diharapkan menjadi “zona bebas rokok dan sampah”.
                                                                                                                                               
Penutup.
Marilah kita renungkan bahwa baik manusia atau species, minum dari air yang sama, mendapat oxygen dari hutan dan laut yang sama, hidup dari tanah yang sama. Kini air, laut, tanah dan hutan yang menjadi milik bersama itu terancam binasa karena dampak Climate change atau perobahan Iklim.
Kita juga belajar dari kearifan lokal seorang tokoh Adat Dayak yang menolak kehadiran HPH: “Simpanlah uang yang kamu mau suap. Kamu bisa mencetak uang tetapi tidak bisa mencetak tanah. Kami tidak menjual tanah kami.[22]
Dampak dari Climate Change atau perobahan Iklim merupakan suatu realita yang tidak bisa di halangi ancamannya secara Global. Trend kerusakan Iklim sudah terasa pada fenomena cuaca ekstrim, banjir, tanah longsor, kenaikan air lair, naiknya suhu udara dst.
Telah terjadi ketidak seimbangan ekosistim Global karena Pemanasan bumi. Hal mana sangat berakibat pada relasi antara manusia dan semua species dalam alam.
Gereja dan Teologi dipanggil untuk membangun suatu Theological Framework atau kerangka berTeologi yang berbasis Ekosistem ; a.l. pembaruan  liturgis, untuk menyatukan manusia dan alam ini sebagai sesama ciptaan yang menyembah dan memuliakan Allah Pencipta.
Pembaruan Liturgis gereja ini mengandung motivasi utama agar   Gereja mengintgerasikan unsur unsur  alam sebagai komponen penting  dalam ibadah gereja; a.l. Air, terang, bunga, batu sebagai symbol symbol alam yang merepresentasi seluruh species ciptaan Allah ( band Mazmur 104). Inilah paradigma baru yang lahir dari Eko-Teologi sebagai respons Gereja atas Phenomena Global Warming dan Dampak nya atas Perobahan Iklim atau Climate Change yang telah memasuki tahapan Climate Collapse.
                                                                                                            Jakarta, 13 Januari 2012.
Daftar Pustaka :
1.    Celia Denne Drumond, Teologi dan Ekologi, BPK-GM 1996.
2.    Karel.Phil Erari., Tanah Kita, Hidup kita, PSH Jakarta, 1997.
3.    David.W.Dor, Down to the Wire; Confrinting Climate Collapse, Oxfort New York, 2009.
4.    Wesley Granberg Michaelson, Redeeming the Cration, WCC Publication, 1992.
5.    John Stott., Isu isu Global, Menantang Kepemimpimpinan Kristen, Yayasan Komunikasi Bina Kristen/OMF, Jakarta 2005.
6.    Paul Knitter., Satu Bumi Banyak Agama, BPK 1995.BPK GM 2004.
7.    Malcolm Brownlee., Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan., BPK GM 2007.
8.    Tissa Balasuriya., Teologi Siarah, BPK 2011.
9.    Karel Phil Erari, Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Aksara Karunia 2006.
10. Al Gore., Earth in the Balance, Ecology and Human Spirit, New York, London, 1992.
11. Julia de Santa Ana., Elements of Theology of Life., WCC, 1984.
12. Gerard vandenzande., Christians in the Crises, Toronto, 1984.
13. David Hallman.,  A Place in Creation., Toronto 1992.








[1]  Paper disampaikan pada Seminar PGI tentang Eko-Theologi sebagai Respons atas Fenomene Global Warming, Jogyakarta, 15-17 June, 2012.
[2]  Kini Ketua PGI; dan Penasihat Senior Papua untuk Marine, bagi Conservasi Internasional, The Nature Conservansi dan World Wide Fund Foundation.
[3] Lihat Celia Deane Drumond., dalam Teologi dan Ekologi. BPK GM, 1996, hal. 5. Kawasan pulau pulau Pasifik sebagai Benua Air akan hilang lenyap pada atlas bumi ini, jika laju Pemanasan Global berlanjut sampai 50 tahun yang akan datang.
[4]  Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia meningkat menjadi 6 milyard, tetapi rata rata setiap hari  5 juta penduduk dunia mati karena krisis air bersih pangan, penyakit dan perang; lihat John Scott dalam Isue Issue Global, Menantang Kepemimpinan Kristen, Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, Jakarta 2005, hal. 146; disana dicatat bahwa penduduk dunia sampai tahun 1980 mencapai 4 milyard. Pada tahun 2010 sudah mencapai lebih dari 6,5 milyard; 1,5 milyard terdapat di RRT dan 800 juta di India. Di Indonesia terdapat 250 juta yang terus meningkat setiap tahun rata rata 2 juta. Penemuan terakhir ternyata jumlah pulau di Indonesia, bukan 17 ribu, tetapi 13.ribu.
[5]  Lihat Karel Phil Erari dalam Tanah Kita Hidup Kita, PSH Jakarta 1997, hal. 217. Dalam bagian paparan tentang Spiritualitas antara Species, akan digaris bawahi hubungan manusia-alam sebagai unsure yang sangat hakiki secara Theologis.
[6]  Perhatikan Eko-Theologi sebagai paradigm baru dalam Erari ,Tanah Kita Hidup Kita; opcit hal.219-228.
[7]  Lihat David W Dorr., Down to the Wire, Confronting Climate Collapse, Oxford New York, 2009, hal X, hal 111- 126.
[8]  David W.Dor, opcit  hal.X.
[9][9][9]  Lihat Wesly Granberg Michaelson, dalam Reddeming the Craetion, the Rio Earth Summit, WCC Publication Geneva, 1992.
[10]  Pada hari Sabtu, 12 Juni 1992, se ribu perempuan, peserta KTT Bumi bersama 9 ribu perempuan Brazil berkemah semalam suntuk dan pada pagi hari mereka mencelupkan kaca “make up” sambil bersumpah dan berpesan dibawah sinar matahari agar semua perempuan di dunia terlibat mencegah kerusakan alam ini yang diakibatkan oleh ulah kaum pria. Lihat laporan Phil Erari, dari KTT Bumi, kepada MPH PGI dalam Sidang MPL PGI Tentena, Agustus 1992.
[11] Dalam presentasi Sekum PGI, Dr Daulai, disebutkan  a.l. bahwa Tsunami termasuk kategori kesalahan manusia. Hal tersebut mendapat pertanyaan dari kalangan DPR RI, apakah PGI memahami factor penyebab Tsunami atau tidak.
[12] Carbon trade kini menjadi suatu program Adaptasi dalam rangka mengurangi dampak Climate Change berupa pemeliharaan Hutan serta pengkaplingan hutan sebagai kawasan yang  diproteksi melalui transaksi perdagangan Carbon. Tidak semua Negara memiliki skema yang sama dalam soal pembagian presentasi Carbon trade ini. Cina menawarkan 35% untuk  rakyat, 15 untuk Pemerintah Lokal, dan 15% untuk Nasional.
[13] Epicentrum Terumbu karang di Raja Am pat kini dikawal oleh dua Lembga Konservasi Internasional : Conservasi internasional Indonesia (CII) dan The Nature Conservancy (TNC)
[14]  Lihat Phil Erari, dalam Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Aksara Karunia dan Gramedia, Jakarta, 2006 hal 134 dst, tentang Krisis Atas Alam sebagai krisis Spiritual.
[15] Llihat David Hallman, A Place in Creation, Ecological Visions, United Church Publications, Toronto 1992, hal. 97.
[16] Al Gore, Earth in the Balance, Ecology and the Human Spirit, Houghton Millflin Company, Boston, New York,London, 1992 hal.332.
[17] Gerard Vandezande., Christians in the Crises. Anglican Books, Toronto Book Centre, 1984 hal. 47.
[18] Lihat Julia de Santa Ana, Elements for a Theology of Life, paper lepas DGD, 1984.
[19] Band.Affirming Life, Theology of Life, an Invitation to Participate,WCC Publication ,Program Unit III JPIC.1995
[20] Danau danau besar di Indonesia, a.l.  DanauToba, Danau Tondano,Danau Poso,Danau Kalimutu,Danau Sentani dan Danau Paniai dikelilingi oleh jemaat jemaat Gereja anggota PGI memiliki mandate ekologis untuk menjaga pelestarian Danau yang mengandung makna spiritual.
[21] Gereja gereja seperti GPKB (Bali), GPM GMIM dan GKI Tanah Papua dimana terdapat kawasan yang dilayani oleh berbagai lembaga Konservasi Internasional, didorong untuk bekerjasam dan membangun jaringan untuk berbagai program mitigasi, seperti penanam pohon, proteksi terumbu karang dst.
[22] Eric Hansen, Stranger in the Forest, On Foor Across Borneo, Methuen Publishing, London, 1988, p 280

Geen opmerkings nie :

Plaas 'n opmerking